Potret Perjalanan Pesantren Indonesia

Oleh: H. Buchori Al Zahrowi (Bendahara Umum PW GP Ansor DIY)

Tentang sejarah perkembangan pesantren, analisis sejarah pesantren, pembaharuan pesantren. Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan istilah pondok pesantren, kiai dan santri masih di perselisihkan. Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kat pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.

Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di Tanah Air (khususnya Jawa) di mulai dan di bawa oleh Wali Songo, maka model pesantrn di pulau Jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman Wali Songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi. Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman Walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren .

2. Elemen-elemen pesantren

Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Keliam elemen tersebut meliputi kyai,santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning

a.Kyai

Kyai atau pengasuh pndok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren sangat biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersankutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.(masa depan 28) Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban. Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalanpersoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menhormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.60

b.Pondok

sebuah pesantren pada dsarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama belajardan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siwa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatankegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengwasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok, asrama bagi para santri, merupakan cirri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikan suraudi daerah minangkabau. Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menari santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua pesantren berda di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbale balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai. System pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang . meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.

c.Masjid

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sitem pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimana puun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga peasntren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembah yang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertamapertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.

d.Santri.

Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren, terdapat dua kelompok santri:

1.Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

2.Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim. Oleh karenanya, hanya seorang santri yang memiliki kesungguhan dan kecerdsan saja yang di beri kesempatan untuk belajar di sebuah pesantren besar. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau ulama’ di jawa yang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan memperluas penguasaan ilmu agamanya dengan cara mengembara dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren mengadopsi system pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi kelana ini mulai di tinggalkan

e. Pengajaran Kitab Kuning

berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klsik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab dan tanpa harakatatau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya methode yang secara formal di ajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kitab Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih; 4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf. Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam yang lain.

3. Pesantren dan Tantangan Modernitas

Melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi banyak kalangan telah memunculkan respond an spekulasi yang beragam. Tidak terkecuali bagi umat islam, perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan social yang tinggi Sebaliknya, berbagai upaya proteksi yang di lakukan oleh suatu pihak atau Negara tertentu, bagi Negara-negara yang telah lama melakukan proyek modernisasi, tentu hanya di pandang sebagai penentangan terhadap ketrbukaannya. Sebagai implikasinya, wacana mengenai plurarismeakan menjadi pergulatan serius dalam mempertemukan antar peradaban yang yang berkeingianan untuk eksis di dunia. Dalam maknanya yang global, pluralisme di satu sisi mempunyai ‘keterbukaan’ dan di sisi lain bisa jadi muncul sebagai bentuk arena persaingan. Dalam kondisi seperti ini , umat manusia dihadapkan pada realitas, dimana tafsir mengenai ‘persaingan’ sangat erat kaitannya dengan siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan arena perdebatan dan sebaliknya, pihak yang lemah akan menanggung kekalahan dan menerima system keterbukaan tersebut. Oleh karena pengaruh abad industri ini tidak saja menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga moral dan agama, islam dengan paradigma yang dimilikinya , yaitu rahmatan lil alamin, bertanggung jawab atas terjadi benturan-benturan peradaban atau implikasi negative dari perkembangan dunia, termasuk juga didalamnya adalah masyarakat pesantren yang menjadi bagian integral dari masyarakat secara kesuluruhan tidak bisa menutup mata dan menjauh dari realitas ini. Dengan doktrin-doktrin kepesantrenan yang dimilikinya, fenomena ini tidak laik di posisikan sebagai bentuk hambatan peradaban, akan tetapi menjadi ujian sekaligus tantangan eksistensi masa depan pesantren di era masyarakat global. Pertanyaannya adalah bagimana bentuk akomodasi pesantren dalam merespon modernitas sebagaimana fenomenanya telah di uraikan di atas . kiranya nilai-nilai apa sajakah yang dianggap akomodatif dan mampu menjawab tantangan zaman.

a.Pesantren dan Tradisi ke Ilmuannya

Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis pesantren sebagaimana yang di istilahkan Gus Dur ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa social. Karena memiliki model pendidikan dan cara belajar santri, pesantren sudah selayaknya menjadi lembaga tafaqquh fiddin dalam arti luas. Pesantren sepeti dunia akademik dan memiliki cirri khas tersendiri, bertanggung jawab atas berbagai fenomena social yang berkembang dan berdampak negative bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan perspektif yang universal atau pendekatan komprehensif, ilmu-ilmu yang di ajarkan di dalam pesantren dapat mendekati persoalan-persoalan kontemporee dengan memberi interprestasi ayat dan hadits, tetapi juga tanpa mengesampingkan kaca mata empiris. Atau dengan istilah populernya tidak sekedar berijtihad secara qauly tetapi mengarah ke ijtihad manhajy (methodology) Dalam kaitannya dengan resppon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu di perhatikan. Keduanya merupakan upaya cultural keilmuan pesantren, sehingga paradigma keilmuanny tetap menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan perdaban manusia di dunia. Ini dapat di lakukan dengan menafsirkan upaya menafsirkan teks-teks islam menjadi sholihun likulli zaman, dinamis dan terbuka. Di samping itu, keilmuan pesantren menolak terhadap upaya pensakralan pemikiran keagamaan (taqdir al-afkar al-din). Dalam bidang tafsir misalnya, asbab an-nuzul dan al-ibrah bil umumu as-sabab la bi khusus al-lafadz di pahami sebagai pendekatan sosio histories islam dalam mengkaji universalitas islam. Kedua, karena pesantren di pandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika keyakinan. Maksudnya adalah keilmuan pesantren juga penting mengadopsi metode yang di kembangkan ilmu-ilmu social. Karenanya asumsi bahwa pendidikan pesantren itu melulu dengan doktrin itu dapat di tolak sejak dini. Di pesantren, kajian mengenai doktrin keagamaan di dekati melalui dua pendekatan yang normativitas dan hostoritas. Keilmuan yang mendukung ini, msecara klasikal dan terencana pesantren sangat memperhatikannya.. misalny dalam ilmu fikih, di samping belajar fikh normative, di ajarkan pula ushul fikih. Kedua upaya tersebut pada hakikatnya bertolak dari asumsi bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tidak dapat di pisahkan dari tanggung jawab keilmuan dan social bagi kelangsungan peradaban manusia . pesantren dengan berbagai skomodasi keilmuan yang dimilikinya, sejak dini telah mempersiapkan generasi baru sebagai pemikir sekaligus berda di garde depan social change.MD 80

b. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Membincang kemajuan dan teknologi tidak akan terlepas dari perbincangan tentang perubahan. Sebab bagi keduanya perubahan merupakan identitas, cirri khas bahkan karakter yang melekat dan tidak akan terpisahkan. Demikian juga ketiaka dua hal tersebut di kontektualisasikan dengan dunia kepesantrenan. Pada awal perkembangannya dan bahkan hingga era 70-an, pesantren pada umumnya di pahami sebagai lembaga pendidikan agama yang bersikap tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan melalui proses social yang unik . saat, itu, dan bahkan hingga sekarang, sebagai lembaga social yang berpengaruh. Keberadaannya memberikan pengaruh dan warna keberagaman dalam kehidupan masyarakat sekitarnya; tidak hannya di wilayah administrasi pedesaan, tetapi tidak jarang hingga melintasi daerah kabupaten dimana pesantren itu berada. Oleh karena itulah pesantren di gunakan sebagi agen perubahan (agen of change) sebagai lembaga perantara yang yang di harapkan dapat berpearn sebagai dinamisator katalisator pemberdayaan sumber daya manusia, penggerak pembangunan di segala bidang, serta pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyongsong era era global. Dan, disinilah perubahan merambah kedalam dunia ke pesantrenan. Sebagaimana di krtahui, globalisasi meniscayakan tejadinya perubahan di segala aspek kehidupan, termasuk orientasi, persepsi, dan tingkat selektifitas masyarakat Indonesia terhadap pendidikan. Apabila semasa orde baru pembangunan lebih diarahkan pada pemeratan pendidikan yang berimplikasi pada tidak terimbanginya peningkatan kuantutas oleh kualitas, maka globalisasi memaksa Indonesia untuk merubah orientasi pendidikannya menuju pendidikan yang berorientasikan kualitas, kompetensi dan, dan skill, artinya yang terpenting ke depan bukan lagi memberantas buta huruf. Lebih dari itu, membekali manusia terdidik agar dapat ikut berpartisipasi dalam persaingan global juga harus di kedepankan. Berkenaan dengan ini, standard mutu yang berkembang di masyarakat adalah tingkat keberhasilan lulusan sebuah lembaga pendidikan dalam mengikuti kompetisi pasar global Untuk dapat menganalisa peran pesantren di era global, sebelunya harus di pahami bahwa pesantren memiliki akar sosio histories yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relative sentral dalam dunia keilmuwan masyarakat, dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan. Sebagaimana di ketahui selama ini pesantren di kenal dengan lembaga “counter). Kalau kita menerima spekulasi bahwa “pesantren telah ada sebelum islam, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika ini benar, berrti pesantren pada saat itu merupakan lembaga”counter culture” budaya tandingan ) terhadap budaya keilmuan di monopoli kalangan istana dan elit Brahmana. Sebagai “counter culture” semestinya pesantren terus mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan ciri khas budaya yang bersifat dinamis dan tidak statis. Secara garis besar permasalahan pesantren bisa di kelompokkan ke dalam empat hal, yaitu: pertama, kurikulum pendidikan yang mencakup literature, model pembelajaran, dan pengembangannya; kedua, sarana dan prasarana seperti perpustakaan, laboratorium, internet, lapangan olah raga, dan yang lainnya; ketiga, wahana pengembangan diri seperti organisasi, majalah, seminar dan pengembangan lain sebagainya; k empat, wahana aktualisasi diri di tengah masyarakat, seperti tabligh, khotib dan lainnya Dari beberapa permaslahan inilah perubahan system penyelenggaraan pendidikan pesantren yang integrated yang juga berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu untuk di kedepankan. Yang menjadi tantangan bagi pesantren saat ini adalah bagiman pesantren mengupayakan pengembangan system dan methodology pembelajarannya, setidaktidaknya agar proses pembelajarannya lebih efektif dan efesien.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *