Sedikit sejarah yang mengaitkan peran NU dalam mengusung nasionalisme, nasionalisme dalam bingkai NU, nilai kebangsaan dalam NU. Andree Fiellard dalam tulisannya yang disampaikan dalam konfernsi Islam dan konstruksi atas sosial dan identitas, memberikan gambaran bahwa Nahdlatul Ulama’ bukan semata-mata organisasi para Ulama’yang hanya berkiprah dalam pusaran agama saja ia lahir diatas motifasi dan tantangan nyata dalam rangka mempertahankan kultur agama Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah dari rongrongan faham lain yang datang mengancam dan menentang organisasi para penjajah Belanda. Sejarah mencatat keberadaan sejarah NU menjadi salah satu soko guru kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Apalagi ketika NU terlibat dalam bingkai politik kebangsaan dan lebih kongkrit lagi ketika NU dalam politik praktis tahun 1952.
Ia merupakan kumpulan multi dimensional yang menurut catatan Clifford Gertz, partai-partai polotik (santri jawa) ¾ termasuk didalamnya NU ¾ lebih merupakan organisasi sosial, ukhuwah, dan keagamaan . Dalam kisarai ini visi kebangsaan NU tampak mengkristal dan keutuhannya tampak tidak terbantahkan, tercatat dalam setiap sejarah tampil sebagai pelopor yang memeiliki semangat jiwa nasionalisme yang sangat tinggi. Nasionalisme bisa dimaknai sebagai rasa atau fham kebangsaan. Yakni tentang faham etika keikutsertaan dalam pembangunan kesetiaan dan perasaan kebangsaan yang diharapkan mampu sebagai pangkal terhadap kemungkinan datangnya ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi kelangsungan kehdupan suatu bangsa.
1. Sejarah NU
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
2. Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme atau faham kebangsaan[3] warga NU sebenarnya telah mengkristal sebelum NU berdiri sebagai organisasi. Sebab sebalum NU berdiri telah muncul Tokoh Ulama’ KH Wahab Hasbullah dan sekaligus sebagai pendiri NU, yang mendirikan Nahdlotul Wathon. Organisasi ini sebenarnya memfokuskan diri pada bidang pendidikan dan adakwah, akan tetapi sesuai denagn namanya dan tuntutan zaman, pada gilirannya ia menunjukkan tingginya semangat kebangsaan yang dimiliki oleh KH Wahab Hasbullah untuk menentang kehadiran penjajah belanda yang telah terbukti merugikan kepentingan umat islam dan masyarakat indonesia. Pendiri Nahdlotul Wathon seolah-olah memberi pesan kepada umat islam untuk nbangkit melawan penjajah dan mempertahankan nusa bangsa yang sedang dihancurkan oleh kaum penjajah belanda.
Visi kebangsaan dan semangat nasionalisme Nu tergambar tegas dalam muqoddimah Alqonunil Asay Oleh Rais Akbar NU KHM Hasyim Asy’ari.
Semangat kebangsaan yang dikembangkan NU tidak hanya tampak pada masa revolusi. Hal itu juga dapat kita lihat dari ungkapan KH Ahmad Shiddiq pada ceramahny adi gedung pusat islam Surabaya pada bulan juni 1989, mengajak atau bahkan mengharuskan warga NU untuk mewujudkan penggalangan persaudaraan tidak hanya sesame umat islam akan tetapi juga sesame bangsa Indonesia dan sesame umat manusia di dunia. Ajakan tersebut kemudian menjadi konsep yang di kenal dengan ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman) ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) ukhuwah Basyariyah (persaudaraan kemanusiaan)
Dan juga tampak baik di tingkat organisasi maupun warga NU sendiri. Hal ini terbukti dalam prakasa NU dalam Proses pembentukan MIAI ( AL-Majalis Al-Islam Ala Indonesia ) di pesantren Kebondalem Surabaya. Namun NU menolak terlibat dalam politik terbukti dengan usulan cabang Indramayu agar NU berusaha Mendudukkan wakilnya dalam Volksrtat ( Dewan Rakyat ), Ditolak oleh mayoritas peserta kongres di Banten 1938. Disamping itu pada kongres Nu di Surabaya juga diputuskan larangan bagi Anggota NU untuk ikut dalam misi belanda dan memutuskan sukarno sebagai persiden RI. Ini menunjukkan ketidakmauan NU dalam berkolaborasi dengan pemerintah belanda.
3. Pengertian Khittoh NU
Khittoh adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus tercermin dalam tingkahlaku baik perorangan maupun Organisasi atau dalam setiap proses pengambilan keputusan. Khittah adalah faham islandm Aswaja yang digali dari sejarah perjalanan NU dari masa Kemasa dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia[4].
Ada sembilan Isi Khittah Nahdhiyyin :
a. Mengenal sejarah berdirinya NU
b. Khittah sebagai landasan erjuangan NU
c. Paham keagamaan NU
d. Sikap keagamaan NU
e. Prilaku dan Ciri khas NU
f. Ikhtiyar melakukan program garapan NU
g. Ulama’ sebagai pemegang pemimpin tertinggi NU
h. Keberadaan NU sebagai Organisasi kemasyarakatan
i. Semangat dalam mengamalkan khittah NU
Keberhasilan cita-cita prjuangan NU adalah tergantung pada pengamalan khittah para pimpinan dan warganya dalam meresapi, menghayati dan mengamalkan Butir-butir khittah NU yang merupakan landasan perjuangan NU
Kembali ke Khittah NU berarti kembali ke garis-garis perjuangan NU kembali ke organisasai jam’iyyah Diniyah islamiyah, meninggalkan kegiatan politik praktis, menekuni kembali bidang agama, siosial, kemasyarakatan untuk berkhidmad kepada agama,negara dan bangsa.
5. Nasionalisme dalam mewujudkan Khittah NU
Berawal dari asal mula NU dibentuk yang mana berasal dari sebuah organisasi yang disebut Nahdlotul Wathon yang memfokuskan diri pada bidang pendidikan dan dakwah. Namun karena tuntutan Zaman dan realita pada masa itu ia menunjukkan semangat kebangsaan untuk menentang kehadiran pemerintah belanda.
Akan tetapi pada ssat penguasa Orba membonsai partai-partai melalui fusi hanya menjadi 3 partai pada tahun 1974, disuatu sisi melicinkan konsep khittah NU namun disisi lain ternyata sangat menghambat sosialisasinya. Akrena kekomakan perstujuan sebenarnya sebagian besar dilandasi oleh semangat berpolitik praktis juga. Apaliagi pda umumnya mereka yang ada dalam struktur dadalah yang sudah merasa enjoy dalam kiprah politik praktis.
Walupun tidak dapat dipungkiri adany politik kebangsaan sejak berdirinya NU karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan NKRI. Politik ini dengan jelas dappat dilihat dari sikap dan kiprah NU sejak mencanangkan fatwa Jihad melawan penjajah pada Oktober 1945.[5]
Maka plitik kebangsaan inilah yang seharusnya ada dalam diri NU berkaitan denagn aa yang menjadi salah satu bidang garaan yang termasuk dalam khittah NU yaitu bidang kehidipan berbangsa dan bernegara. Dalam artian Nu diarahkan untuk memunyai jiwa kebangsaan, cinta tanah air dan nasionalisme sebagai wujud hubbul wathon minal iman dalam penerapannya digunakan oleh NU dalam menjaga keutuhan tanah air.