Tradisi Ruwahan;Spirit Keislaman Indonesia

makna tradisi ruwahan, tradisi Nu bulan sya'ban, kegiatan NU bulan sya'ban Pada bulan sya’ban ini, tema terkait makna bulan sya’ban, fadhilan bulan sya’ban, tradisi ruwahan, tradisi NU, tradisi ruwahan, kegiatan ruwahan menjadi hal yang menarik. bulan Syaban atau Ruwah (Jawa) sudah separuh perjalanan. masyarakat muslimJawa mulai menyiapkan diri, baik fisik maupun spiritual, untuk menyongsong Ramadan 1433 H, termasuk sebagian yang melaksanakan tradisi sosial keagamaan Ruwahan. Tradisi itu adalah tafsir cerdas orang Jawa pada masa lalu dalam menerjemahkan ajaran Islam dalam konteks realitas sosial. Pelaksanaan tradisi ini kadang dikelola oleh lembaga masyarakat, misalnya remaja pengurus masjid, NU, atau ormas. Tujuan utamanya adalah mendoakan arwah leluhur. Si empunya hajat mengundang warga sekitar, bahkan kadang pihak luar datang khusus untuk menghadiri kegiatan itu, yang adakalanya dihadiri sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Ada pula kegiatan yang diadakan oleh komunitas, yang juga terbuka untuk umum. Ruwahan berasal dari Ruwah,

yang memiliki akar kata arwah atau roh. Dari arti kata itulah Ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang leluhur, yang wujudnya bisa mendoakan arwah mereka. Di Jawa, tradisi itu biasanya digelar 10 hari menjelang Ramadan, namun bisa lebih awal semata-mata guna menghindari berbenturan hari penyelenggaraan. Secara umum, ritual Ruwahan di Jawa dimulai dari kenduri, doa bersama, hingga besrik(membersihkan) makam yang dipuncaki nyadran (berziarah). Bahkan sebagian masyarakat Jawa pada pertengahan bulan Syaban bersedekah dengan menyajikan penganan khusus, yaitu kolak pisang, apem, dan ketan. Penganan itu diberikan ke tetangga sekitar sampai 40 rumah.

Makna Tersirat

Ada makna tersirat dan hikmah yang terkandung dari pemberian makanan tersebut, terkait pihak yang menerima yang diharapkan ikut mendoakan arwah para leluhur dari si empunya hajat, atau bagi pihak yang memberi sedekah itu. Kolak berasal dari kata kholaqo, yang artinya menciptakan menjadi Kholiq (Khalik) atau Sang Maha Pencipta. Tafsirnya adalah pada bulan Syaban atau Ruwah, umat Islam harus banyak mengingat kepada Allah SWT. Pasalnya pada bulan itu Tuhan menurunkan kodrat-iradat tentang takdir setahun mendatang. Termasuk menentukan nama manusia yang akan meninggal antara tanggal 15 Syaban tahun itu dan tanggal 14 Syaban tahun berikutnya. Adapun apem berasal dari afuan, yang artinya ampunan, maaf. Tafsirnya, umat Islam harus banyak memohon ampunan kepada Allah SWT, antara lain dengan memperbanyak membaca istighfar sehingga ketika memasuki bulan Ramadan sudah dalam keadaan ‘’suci’’. Ketan berasal dari kata khoto’an, yang artinya suci, putih, bersih. Jadi, setelah ingat Sang Khalik, kemudian memohon ampunan maka kita akan kembali menjadi ‘’bersih’’ mengingat akan menyambut Ramadan. Ada beberapa aspek yang bisa kita capai dari tradisi Ruwahan. Dalam konteks mendoakan arwah leluhur, berarti kita yang melaksanakan kegiatan itu  sudah mewujudkan birrul walidain atau ketaatan kepada orang tua (atau leluhur) sebagai salah satu bentuk amal jariah. Tradisi itu juga bertujuan menjalin ukhuwah antarwarga. Terlebih bila kita menafsirkan secara filosofi mengenai penganan yang disedekahkan. Poin terakhir itulah yang membedakan antara Ruwahan dan kenduri atau tahlilan biasa. Tradisi Ruwahan atau nyadran di Jawa membuktikan adanya local genius leluhur kita. Nilai-nilai kebaikan yang dibawa agama-agama dunia ke Indonesia terbukti tidak menenggelamkan penghayatan budaya tradisional yang hidup dalam masyarakat.