Awal bulan ramadhan 1433 H, puasa ramdhan 2012, penentuan awal ramdhan 1433 H (2012). Pada hari Sabtu, 23 Juni 2012, Lajnah Falakiyah Nahdhatul Ulama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LFNU DIY) menyelenggarakan halaqah dengan tema “Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal berdasarkan Sunnah Rasul Saw.”, bertempat di Pondok Pesantren Diponegoro, Sembego, Maguwoharjo, Depok, Sleman DIY. Narasumber dalam acara ini yaitu KH Azhari Abta, rais syuriyah PWNU DIY, KH Djawahir Fakhrurrozi, ketua LFNU DIY, Muthoha Arkanuddin, direktur RHI, dan Abdul Mughits, dosen Fak. Syari’ah & Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Halaqah yang diikuti oleh 150 peserta dari pengurus NU tingkat anak ranting hingga wilayah ini dibuka oleh pengasuh pesantren Diponegoro, KH M Syakir Ali. Halaqah ini sendiri berangkat dari kenyataan, bahwa masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum bisa
memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi, terutama menyangkut perbedaan dalam metode hisab dan ru’yah yang berkembang di Indonesia. Hal itu juga masih diperkeruh dengan isu-isu dan statemen-statemen yang berkembang di masyarakat yang tidak jelas yang terkadang tampak tidak etis, intoleran, dan kurang santun. Oleh karena itu, kegiatan halaqah ini dimaksudkan sebagai sarana informasi dan sosialisasi serta menyikapi kemungkinan-kemungkinan terjadinya perbedaan dalam penentuan dan penetapan awal bulan Qamariyah di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sehingga diharapkan agar antar kelompok bisa saling menjaga diri, mengedepankan ukhuwah dan sikap toleransi. Meneguhkan Ru’yah Di dalam penetapan awal bulan Qamariyah, selama ini NU menggunakan metode ru’yatul hilal bil fi’li (melihat hilal secara langsung di lapangan) atau ikmal (istikmal), yakni menyempurnakan bilangan hari menjadi 30. Oleh karena itu, jika berhasil melihat hilal maka keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu (awal bulan), dan jika gagal maka jumlah hari digenapkan menjadi 30, artinya tanggal satunya jatuh pada lusa. Secara syar’i, ru’yah tersebut dilaksanakan pada setiap tanggal 29 bulan Qamariyah. Pemakaian metode ru’yah ini didasarkan pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama sejak zaman Sahabat sampai saat ini, yang menegaskan bahwa penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal itu harus dengan ru’yatul hilal bil fi’li atau istikmal, bukan dengan hisab karena dasar hukum hisab ini dinilai meragukan. Pendapat-pendapat ulama mengenai ru’yatul hilal tersebut didasarkan pada hadits-hadits shahih yang jumlahnya sangat banyak. Hadits-hadits tersebut terdapat dalam semua kitab induk hadits, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Shahih
Ibn Hibban, Sahih Ibn Khuzaimah, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibn Majah, Sunan At-Tirmidzi, Musnad Ahmad bin Hanbal, dll. Bahkan, para ulama, seperti Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu al-Munzir, Ibnu ‘Abidin, Ibnu Rusyd, dll. menegaskan bahwa ru’yah sebagai dasar penetapan awal Ramadhan dan Syawal ini sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama’ yang mengikat umat Islam dan tidak lagi menjadi objek ijtihad. Perintah ru’yah dalam hadits-hadits tersebut adalah termasuk dalil mufassar, artinya redaksinya secara jelas dan tegas sudah menunjukkan kepada maknanya dan tidak boleh di-ta’wil ke makna lain, seperti di-ta’wil menjadi ru’yah dengan hisab. Dalil mufassar termasuk dalil qat’i (jelas dan tegas) yang tidak termasuk objek ijtihad (dita’wil) dan mengikat umat Islam untuk menjalankannya. Makna ru’yah dalam hadits tersebut adalah melihat dengan mata, karena jika melihat dengan pikiran atau hisab, namanya bukan lagi ru’yah tetapi ra’yu. Di dalam ushulul fiqh telah ditegaskan, jika ada pertentangan antara dalil yang jelas dan tegas (qat’iy) dengan dalil yang samar-samar (dzanniy) maknanya, maka didahulukan dalil yang tegas. Dalam konteks hadits-hadits
NU Online tersebut, makna “melihat dengan mata” itu bersifat qat’iy, sedangkan makna melihat dengan hisab itu dzanniy, oleh karenanya harus didahulukan dalil yang pertama. Jadi, penggunaan ru’yah sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariyah itu dikarenakan dasar hukumnya telah sangat jelas dan tegas, bukan karena kedangkalan ilmu hisab para pengamal ru’yah, sebab justru banyak ahli hisab yang lahir dari rahim NU dan pesantren. Selain di Indonesia, metode ru’yatul hilal bil fi’li ini juga dipakai di hampir semua negara Muslim di dunia, termasuk Arab Saudi. Di dalam halaqah ini juga ditegaskan, bahwa makna hilal yang benar adalah bulan sabit malam tanggal satu bulan Qamariyah yang tampak oleh mata. Jika belum tampak, maka namanya bukan hilal tetapi qamar (bulan), terutama ketika ketinggian bulan sangatlah rendah sehingga mustahil dapat dilihat oleh mata, bahkan dengan alat berteknologi modern sekalipun. Menyikapi Perbedaan Menyikapi perbedaan antara Indonesia dengan Arab Saudi dalam memulai awal bulan, terutama ketika Idul Fitri atau saat di Indonesia masih puasa ‘Arafah, sedangkan di Arab Saudi sudah ‘Idul Adha, dalam halaqah ini ditegaskan bahwa hal itu tidak menjadi masalah karena dalam kalender Qamariyah belum ada garis batas tanggal Hijriyah internasional (international Hijri date line) yang disepakati, sehingga tidak bisa mengatakan kita itu satu waktu atau kita lebih dulu atau lebih akhir dari Arab Saudi. Sistem kalender Qamariyah tidak bisa dibicarakan dengan mindset kalender Masehi, karena keduanya memiliki karakteristik berbeda. Di dalam peralihan tanggal, misalnya, kalender Masehi dimulai pada jam 00:00 dini hari, sedangkan kalender
Qamariyah dimulai setelah matahari terbenam (sunset). Di samping itu, garis ketinggian hilal setiap menjelang awal bulan Qamariyah itu sifatnya tidak lurus, tetapi selalu melengkung.
Prediksi Ramadhan 1433 H Kemungkinan terjadinya perbedaan di dalam memulai Ramadhan 1433 H besok antara NU dengan ormas Islam lain yang menggunakan kriteria wujudul hilal cukup besar. Data ketinggian hilal pada Kamis, 19 Juli 2012 adalah 1,6 derajat, sehingga menurut kriteria wujudul hilal pada Jum’at, 20 Juli 2012 sudah masuk tanggal satu (Ramadhan). Namun, menurut NU dan
Pemerintah RI, tanggal satu jatuh pada lusanya, yaitu Sabtu, 21 Juli 2012, karena data hisab pada hari Kamis (19 Juli 2012)
menunjukkan bahwa hilal masih berada di bawah kriteria imkanur-ru’yah (kemungkinan bisa di-ru’yah) dua derajat.
Untuk 1 Syawal 1433 H diprediksi akan dimulai secara serentak jika ru’yah yang dilakukan nanti berhasil melihat hilal.
Ketinggian hilal pada tanggal 18 Agustus sudah mencapai 7,5 derajat, sehingga diprediksikan 1 Syawal jatuh pada Ahad, 19
Agustus 2012. Demikian juga, untuk Idul Adha tahun 1433 ini juga diprediksi tidak ada perbedaan.
Posisi hilal menjelang awal Dzulhijjah 1433 H masih berada di bawah ufuk, sehingga dapat diprediksikan bahwa Idul Adha
1433 H akan dirayakan secara serentak pada Jum’at, 26 Oktober 2012. Kalaupun ada perbedaan, biasanya itu berasal dari
kelompok-kelompok kecil yang masih menggunakan hisab ‘urfi maupun kriteria-kriteria sejenis lainnya.