Kajian Kitab Tafsir Ibnu Katsir, dedikasi ilmu tafisr yang penting bagi perkembangan umat islam, tafsir ibnu katsir juga dikatakan sebagai kajian tafsir paling shohih, dari itu kami akan mebahas tentag kajian tafisr ini, Tafsir Ibnu Katsir disusun oleh seorang ahli hadits, tak heran kitab tafsir ini lebih mengedepankan penafsiran-penafsiran bil ma’tsur. Bahkan sang penulis mengklaim metode tafsirnya tersebut sebagai yang paling shahih. Kali ini akan mengapresiasi kitab Tafsir al-Qur`ân al-’Azhîm atau yang lebih akrab dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir. Jika ditilik dari jenisnya, Tafsir Ibn Katsir ini termasuk kategori tafsir bil ma`tsur yang juga sangat termasyhur, bahkan menduduki peringkat kedua setelah Tafsir Ath-Thabari. Di antara sesama tafsir bil ma’tsur, Tafsir Ibnu Katsir termasuk termasuk yang paling concern mengetengahkan penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran lain, yang lazim disebut tafsir Al-Quran bil Quran. Selain itu tentu saja Ibnu Katsir juga menampilkan penafsiran yang bersumber dari hadits dan atsar, lengkap dengan rangkaian sanad (genealogi) periwayatannya. (untuk download kitab ibnu katsirsilahkan klik link berikut)
Uniknya, karena dipaparkan oleh mufassir yang juga seorang hafizh, gelar bagi seorang ulama ahli hadits, hadits-hadits tafsir itu juga dikaji secara detail dari sisi keilmuan hadits. Dengan gamblang Ibnu Katsir mengulas shahih-hasan–dhaifnya hadits tersebut. Tak ketinggalan, ia juga memaparkan sisi Al-Jarh wa at-Ta’dîl (penilaian kapabilitas dan integritas) para periwayat. Dalam kitab tafsir tersebut, kepiawaian Syaikh Ibnu Katsir dalam ilmu fiqih juga mencuat. Meski secara sengaja dibuat tidak terlalu mendalam, ia mengetengahkan diskusi-diskusi fiqih, pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka ketika menafsirkan ayat-ayat tentang hukum. Bagi pembaca yang belum puas dengan kajian singkat tersebut, dengan bijak ia menyebutkan beberapa kitab fiqih induk yang bisa dijadikan rujukan. Sementara dalam hal nama dan sifat Allah yang banyak termaktub dalam Al-Quran, Ibnu Katsir lebih suka memberi keterangan yang bersifat global dari pada menjelaskannya dengan rinci dan penuh penakwilan seperti kalangan Mu’tazilah. Ia juga menghindari penafsiran sifat-sifat Allah dengan Lâzim ash-Shifah, konsekuensi sifat tersebut, yang dipelopori oleh Imam ath-Thabari. Perbedaaan lainnya, Ibnu Katsir juga tidak banyak menyinggung perbedaan Qirâ`ât, dialek pengucapan ayat, kajian kebahasaan dan sastra. Ulasannya tentang qiraat, misalnya, hanya ia disajikan dengan ringkas, meski cukup padat. Kehebatan Tafsir Ibnu Katsir memang bukan terletak pada keluasan bidang kajiannya, tetapi justru pada kedalaman pembahasan setiap kajian. Dan sejarah telah membuktikan, tafsir Al-Quran sebanyak 10 jilid itu terus menjadi bahan rujukan hingga saat ini.
Mengadili Inkarnasi
Ibnu Katsir yang bernama lengkap Imaduddin Abul Fidâ` Isma’il bin ‘Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi’iy lahir di Busyra pada tahun 700 H/1300 M. Ketika ayahnya meninggal dunia, Ibn Katsir yang baru berusia enam tahun pun diasuh kakaknya di Damaskus. Di bekas ibukota dinasti Umayyah itu pula bocah yatim itu tumbuh dan belajar untuk kali pertama, dalam kesederhanaan. Guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari, ulama besar dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i yang mendidiknya menjadi ulama fiqih jempolan. Nama Ibnu Katsir mulai terkenal saat ia ikut dalam tim peneliti yang dibentuk Gubernur Syiria, An-Nasiri, yang bertugas menetapkan hukuman terhadap seseorang yang didakwa menganut paham hulul (inkarnasi). Selain ilmu fiqih, Ibnu Katsir juga sangat tertarik terhadap ilmu hadits. Bakatnya dalam bidang keilmuan yang cukup rumit itu terasah dengan baik ketika ia belajar kepada Jamaluddin al-Mizzi, ahli hadits kenamaan di Syiria yang belakangan menjadi mertuanya. Selain itu juga berguru kepada Al-Wani, yang memberinya ijazah sanad-sanad hadits dari ulama Hijaz. Selain itu, ia juga sempat belajar kepada Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Karena keahlian dalam dua ilmu tersebut, dalal usia tiga puluhan Ibnu Katsir telah memperoleh kedudukan yang mulai di tengah kaumnya. Tahun 1348, ia diminta menggantikan gurunya, Az-Zahabi, untuk mengajar di Turba Umm Salih. Tujuh tahun kemudian, 1355, ia bahkan diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah, sebuah madrasah khusus ilmu-ilmu Hadits yang baru saja ditinggal wafat Hakim Taqiuddin As-Subki.
Tak hanya pandai mengajar, Syaikhul Imam Ibnu Katsir juga piawai menuangkan ilmunya di atas kertas, terutama dalam bidang hadits. Beberapa karyanya yang terklan adalah Jami al-Masanid wa as-Sunan (Penghimpun kitab Musnad dan Sunan), delapan jilid kitab yang berisi nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis; At-Takmilah fi Mar’ifat as-Sigat wa ad-Dhua’fa wa al-Mujahal (Pelengkap dalam Mengetahui Perawi-perawi yang Dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal); dan Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadis (Buku tentang ilmu Hadits) atau lebih dikenal dengan nama Al-Ba’its al-Hadits. Sementara dalam bidang fiqih, keahliannya diakui tidak saja oleh sesama ulama, tetapi juga oleh pemerintah. Bahkan, oleh para penguasa, ia kerap dimintai pendapat seputar tata pemerintahan dan kemasyarakatan yang terjadi pada masa itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi pada tahun 1358 M serta upaya rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, ia juga banyak menghasilkan karya ilmiah di bidang hukum Islam. Salah satunya adalah kitab Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari Jihad) yang selesai disusun beberapa waktu menjelang wafatnya. Seiring perjalanan waktu, mulai terlihat keahlian lain sang Imam, yakni di bidang ilmu tafsir, yang juga diakui oleh ulama sezamannya. Bahkan pada tahun 1366 Ibn Katsir diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Syiria di Masjid Ummayah Damaskus.
Metode Baru
Dalam menafsirkan Al-Quran, Ibnu Katsir memperkenalkan metode baru yang ia anggap sebagai tafsir yang paling benar adalah, yakni tafsir Al-Quran dengan Al-Quran sendiri. Jika penafsiran dengan ayat lain tidak didapatkan, baru Al-Quran ditafsirkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang memang ditugaskan oleh Allah untuk menerangkan isi Al-Quran. Jika metode kedua juga tidak didapatkan, maka menurut Ibnu Katsir, Al-Quran harus ditafsirkan dengan pendapat para sahabat, karena merekalah orang yang paling mengetahui asbabun nuzul (konteks sosial turunnya ayat). Jika yang ketiga ini pun tidak didapatkan, maka digunakan alternatif terakhir, yakni pendapat dari para tabi’in. Salah satu mahakaryanya dalam bidang tafsir adalah Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim alias Tafsir Ibnu Katsir. Selain itu, ia juga menulis buku Fadha’il Al-Quran (Keutamaan Al-Quran), berisi ringkasan sejarah Alquran. Selain dalam ranah tafsir, hadits dan fiqih, Ibnu Katsir juga menghasilkan karya-karya besar di bidang tarikh (sejarah). Karya-karya tersebut antara lain Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan dan Akhir) alias Tarikh Ibnu Katsir, Al-Fushul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan Tabaqat asy-Syafi’iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii). Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku Tarikh Ibnu Katsir, yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah SAW dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Pada masa Dinasti Mamluk di Mesir, kitab tersebut dijadikan buku rujukan utama sejarah. Akhirnya, pada tahun 1372 Ibnu Katsir wafat di Damaskus. Ia dimakamkan di pekamanan sufi, tepat di sisi makam salah satu gurunya, Syaikh Ibnu Taymiyyah. Sebuah tema menarik tentang Kajian Kitab Tafsir Ibnu Katsir.